Indonesia hanya memiliki dua jenis pasien. Pasien kaya dan
miskin. Saat keduanya sakit, mereka sama-sama bingung. Pasien kaya bingung
memilih rumah sakit mewah mana yang akan di pilih untuk merawatnya, fasilitas
apa saja yang akan di ambil dan siapa dokter terkenal yang akan merawatnya. Uang
bukan masalah, asalkan pasien dirawat sebaik dan senyaman mungkin.
Ini wajar dalam hidup, dengan uang kita bisa membeli apapun,
termasuk fasilitas di rumah sakit. Orang yang punya uang akan memilih kamar
yang bagus dan fasilitasnya lengkap. Kamar mandi dalam, TV, AC, wifi, kulkas
dan fasilitas-fasilitas yang membuat
nyaman pasien akan di bayar meskipun mahal. Bagi orang kaya, apapun akan di
lakukan untuk membuat pasien merasa senang dan nyaman. Mungkin 20 tahun lagi di
sediakan flying fox dan banana boat di kamar pasien agar pasien merasa
terhibur.
Pasien miskin juga mengalami kebingungan. Bingung dengan apa
mereka membayar, dimana mereka akan dirawat dan siapa yang akan merawat. Jangan
kan televisi, kebagian kamar aja udah bersyukur. Bahkan kadang ada yang gak
kebagian tempat tidur dan harus tidur di lantai. Itu pasien lho bukan fans
JKT48. Tapi ya mau gimana lagi. Yang penting bagi mereka adalah dirawat
meskipun “seadanya”.
Tapi orang miskin bisa bernafas lega. Pemerintah punya
program-program yang bisa membebaskan pasien tidak mampu dari biaya rumah
sakit. Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dan Maskin (Masyarakat Miskin)
dan beberapa program lainnya. Program ini menanggung semua administrasi mulai
dari biaya rawat inap, obat-obatan dan biaya dokter.
Jumlah pasien yang berobat kadang melebihi kapasitas
ruangan. Tidak jarang Saya lihat pasien yang kritis tapi harus di rawat di
lorong-lorong. Ya mau bagaimana lagi. Apapun fasilitasnya, apapun kondisinya,
bagi orang miskin yang penting adalah di rawat dan gratis. Tanpa TV, AC, flying
fox dan banana boat.
Meskipun tindakan
medis yang dilakukan terhadap kedua
jenis pasien ini sama, tapi ada sedikit perbedaan perlakuan terhadap keduanya.
Biasanya pasien yang membayar di
perlakukan dengan hati-hati, karena mereka membayar. Sedangkan pasien yang
gratis, alias di bayar oleh pemerintah, biasanya mendapat perlakuan yang biasa
aja.
“Alaaahhh, wong gratis aja, koq minta enak”
Harus di akui inilah yang ada di benak tenaga medis saat
menangani pasien gratis. Ya mungkin tidak semua, hanya beberapa. Atau anggap
aja ini hanya kecurigaan Saya. Kesenjangan social bisa terlihat disini.
Kita pasti sering mendengar ungkapan “orang miskin dilarang
sakit”. Saya ga setuju dengan ungkapan itu. Karena pemerintah sudah memberikan
bantuan berupa program di atas. Yang dilarang sakit di Indoensia ini adalah
orang kelas menengah. Dimana orang-orang ini tidak cukup kaya untuk membayar
biaya rumah sakit, dan tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan pemerintah.
Untuk
mendapat bantuan dari pemerintah, Anda harus memenuhi beberapa syarat. Salah
satunya Anda harus miskin. Dan menjadi
orang miskin ternyata juga ada syaratnya. Silahkan
Anda cari sendiri syarat dan kriteria menjadi orang miskin agar berhak mendapat
bantuan kesehatan dari pemerintah.
Orang kelas menengah ini masuk dalam kategori pasien umum dan
harus membayar biaya rumah sakit nya sendiri. Celakanya saat uangnya habis,
mereka harus hutang sana-sini. Kadang harus jual barang-barang untuk membayar
biaya rumah sakit nya. Meskipun sudah nggak punya uang, hutang banyak dan udah
ngejual barang-barang, tetap belum bisa dikatakan miskin dan belum berhak
mendapatkan bantuan untuk berobat dari pemerintah.
Orang yang sudah tidak punya apa-apa karena di korbankan untuk
biaya berobat saja belum tentu mendapat bantuan pemerintah. Apalagi orang yang
masih punya apa-apa. Karena miskin dan tidak punya uang itu beda. Kalau Anda
punya uang tapi tidak punya apa-apa, Anda bisa disebut miskin. Tapi kalo Anda
punya apa-apa tapi tidak punya uang, maka Anda belum masuk kriteria orang
miskin.
Misalnya ada sebuah keluarga yang tinggal di perumahan, punya motor
dan perabotan rumah kelas menengah. Lalu bapak nya sakit parah dan berobat
dengan biaya yang sangat mahal. Uangnya habis dan harus menjual motor dan
barang-barang yang lain. Meskipun sudah tinggal rumah aja dan gak punya
apa-apa, orang ini belum di katakan miskin. Saat dia mengajukan permohonan
bantuan dari pemerintah, belum tentu juga di kabulkan.
Padahal orang ini sudah gak mampu lagi membayar. Kalo dia harus
menjual rumah dan segala isinya agar memenuhi kriteria untuk mendapat bantuan
dari pemerintah, kemungkinan akan di bantu. Tapi saat pulang dari rumah sakit,
keluarganya sudah tinggal di kolong jembatan.
Menurut Saya syarat yang ditetapkan untuk mendapat bantuan dari
pemerintah ini bagus untuk mencegah terjadinya kecurangan. Misalnya orang yang
mampu tapi karena kenal orang dalam, maka di ajukan untuk mendapat bantuan.
Namun kerancuan dalam menetapkan seseorang berhak atau tidaknya mendapat
bantuan, akan menimbulkan masalah.
Menurut Saya harus ada kebijakan baru dimana pemerintah mau
membantu orang yang membutuhkan. Gak harus miskin atau harus disahkan untuk
mendapat bantuan. Jadi ada semacam bantuan darurat gitu. Saya begitu prihatin
akan hal ini karena Saya pernah mengalaminya. Menangani pasien umum yang tidak
mampu membayar. Beginilah kisahnya.
Hari itu giliran Saya kebagian shift jaga siang di salah
satu rumah sakit daerah di Surabaya. Saya bersama 4 orang teman berjaga di
ruang penyakit dalam. Dari 5 orang dalam kelompok ini, Saya adalah mahasiswa
yang paling malas, suka telat dan beresiko melakukan kesalahan. Oleh karena itu
pihak kampus mengutus 4 orang teman-teman terbaik di angkatan 2009 untuk
mendampingi Saya agar bisa mendukung, mengontrol dan mengasuh Saya selama
menjalankan praktek klinik di rumah sakit.
Saat itu Saya sudah semester 6. Praktek di rumah sakit ini
adalah yang terakhir sebelum tugas akhir dan sidang. Jaga siang lumayan santai,
gak kayak kalo kebagian shift pagi. Sibuknya minta ampun, dari pagi sampek
siang sibuk banget ngurusin pasien. Kadang ga sempet duduk. Baru bisa istirahat
pas jam makan siang.
Di ruang penyakit dalam ini terbagi dua jenis pasien. Pasien
umum dan pasien gratis yang mendapat bantuan dari Jamkesmas. Setiap Saya mau melakukan
tindakan di ruang pasien yang berbayar. Senior perawat di ruangan itu selalu
berpesan untuk hati-hati. Mungkin takut kalo ada kesalahan bisa kena komplain
rumah sakitnya. Sedangkan pasien yang gratis “dianggap” ga boleh komplain.
Pada kenyataannya pasien gratis emang jarang complain. Ada
dua kemungkinan. Mereka memang sudah mendapatkan pelayanan yang baik, atau
mereka ngerasa ga berhak untuk komplain.
“Udah bersyukur bisa dirawat gratis, jadi pasrah aja”
Mungkin itu yang ada di benak pasien gratis. Mereka ga paham
standar pelayanan. Yang penting di rawat dan dikasih obat. Sebenarnya meskipun
di rawat asal-asalan pun mereka mungkin tidak tau. Atau seandainya terjadi
kesalahan mereka ga akan bisa menuntut. Berobat aja harus dapat bantuan dari
pemerintah, kemungkinan kecil bisa bayar pengacara buat menuntut rumah sakit
kalo terjadi kesalahan. Kecuali pemerintah menyediakan layanan Jampengkin
(Jaminan Pengacara Miskin) untuk membela pasien yang mengalami masalah. Tapi ya
membela seadanya, kan gratis. Pasti pengacaranya akan bergumam dalam hati
“Alaah wong gratis aja koq mau bener”
Sidangnya pun di ruang seadanya. Ga ada AC, TV flying fox
dan banana boat. Kalo ruang sidang penuh ya di lorong. Dan kalo ga ada meja
hijau, terpaksa sidangnya di lantai.
Melakukan tindakan medis di ruang pasien berbayar memang
terasa berbeda. Selain di bebani titah senior untuk berhati-hati, biasanya
pasien di ruang berbayar ini orang yang punya uang dan ber pendidikan. Jadi
harus extra hati-hati agar tidak salah dan kena komplain.
Awalnya saya berpikir semua pasien yang ada di ruangan
berbayar ini adalah orang yang kaya, atau minimal punya uang untuk membayar.
Tapi ternyata tidak semua. Ada juga pasien yang tidak bisa membayar obat-obatan.
Bahkan untuk sebotol infus jenis RL (ringer laktat) seharga Rp, 12.500.-.
Saya melihat seorang wanita berumur sekitar 20 tahun
terbaring lemas. Infusnya kosong belum di ganti. Tidak ada keluarga yang
menjaganya. Lalu Saya tanya keluarga penjaga pasien yang satu kamar dengan nya.
“Bu, keluarga nya mbak ini mana ya bu?”
“Tadi ada suaminya, Mas. Sekarang ga tau kemana suaminya
pergi”
Setelah berbincang-bincang dengan Ibu itu Saya mendapat
informasi bahwa Mbak ini berasal dari Bandung dan suaminya keluar entah kemana.
Gak jelas mau ngambil uang atau menebus obat. Tapi yang Saya lihat di meja
dekat pasien tidak ada cadangan botol infus. Mungkin menunggu suaminya nebus
obat baru ada lagi cadangan botol infus.
Saat itu Saya pulang jaga dari rumah sakit sekitar jam 9
malam. Saya terbayang terus kondisi Mbak itu. Seandainya suaminya belum datang
membawa botol infus pengganti, berarti Mbak itu akan tidur dalam keadaan
kekurangan cairan. Apalagi sore tadi Saya cek tensi darahnya rendah sekali
sekitar 90/70 dan ini dibawah normal. Karena normalnya tensi darah 120/80.
Saya gak tau pasti apa penyakit Mbak ini. Yang saya tau kalo
tensi rendah dan dalam keadaan lemas, maka asupan cairan harus banyak masuk.
Salah satunya lewat cairan infus. Jadi kalo infusnya habis harus segera di
ganti.
Keesokan harinya Saya kebagian jaga siang. Begitu sampai
rumah sakit, Saya langsung menuju kamar Mbak itu dirawat. Saya pikir pihak
rumah sakit akan memberikan pinjaman cairan infus sementara karena kondisi
pasien yang lemah dan membutuhkan asupan cairan dengan segera.
Namun ternyata tidak. Botol infus itu tetap kosong. Tak ada
yang mengganti. Seakan-akan pasien ini tidak di urus. Langsung saya ukur
tekanan darahnya. Hasilnya sekitar 80/60 dan keadaannya makin lemas. Cuma bisa
merem-melek.
Yang saya tau jika botol infus kosong dan tidak di tutup
salurannya, maka bisa udara yang mengalir ke darah dan menuju jantungnya. Jika
jantung kemasukan udara secara berlebih, maka akan terjadi emboli jantung yang
menyebabkan seseorang bisa meninggal.
Untung saja hal itu tidak sampai terjadi. Perawat yang
berjaga sudah menutup selang infusnya. Saya hanya membayangkan. Seandainya
perawat yang berjaga tidak menutup infusnya, Mbak itu bisa meninggal. Semuanya
berawal dari tidak adanya sisa botol infus untuk di ganti. Dan saya bertanya
dalam hati. Kenapa pihak rumah sakit tidak meminjami atau membelikan botol infus
yang harganya hanya Rp, 12.500,-. Kenapa tega membiarkan pasien terbaring lemah
seperti itu. Bayangkan kalo itu sahabat Anda, Ibu anda atau bahkan anda
sendiri. Terbaring lemah tak ada yang mau membelikan sebotol cairan infus yang
semurah itu.
Siapapun boleh sakit. Mau kaya atau miskin silahkan sakit.
Tapi kalo Anda tidak punya uang, tidak cukup miskin untuk minta bantu
pemerintah atau tidak punya orang dalam untuk mengajukan Jamkesmas, maka Anda
harus lebih menjaga kesehatan.
Sehat itu murah. Berobatnya yang mahal.