Jumat, 24 Juli 2015

Emboli Jantung

Indonesia hanya memiliki dua jenis pasien. Pasien kaya dan miskin. Saat keduanya sakit, mereka sama-sama bingung. Pasien kaya bingung memilih rumah sakit mewah mana yang akan di pilih untuk merawatnya, fasilitas apa saja yang akan di ambil dan siapa dokter terkenal yang akan merawatnya. Uang bukan masalah, asalkan pasien dirawat sebaik dan senyaman mungkin.

Ini wajar dalam hidup, dengan uang kita bisa membeli apapun, termasuk fasilitas di rumah sakit. Orang yang punya uang akan memilih kamar yang bagus dan fasilitasnya lengkap. Kamar mandi dalam, TV, AC, wifi, kulkas dan fasilitas-fasilitas  yang membuat nyaman pasien akan di bayar meskipun mahal. Bagi orang kaya, apapun akan di lakukan untuk membuat pasien merasa senang dan nyaman. Mungkin 20 tahun lagi di sediakan flying fox dan banana boat di kamar pasien agar pasien merasa terhibur.

Pasien miskin juga mengalami kebingungan. Bingung dengan apa mereka membayar, dimana mereka akan dirawat dan siapa yang akan merawat. Jangan kan televisi, kebagian kamar aja udah bersyukur. Bahkan kadang ada yang gak kebagian tempat tidur dan harus tidur di lantai. Itu pasien lho bukan fans JKT48. Tapi ya mau gimana lagi. Yang penting bagi mereka adalah dirawat meskipun “seadanya”.

Tapi orang miskin bisa bernafas lega. Pemerintah punya program-program yang bisa membebaskan pasien tidak mampu dari biaya rumah sakit. Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dan Maskin (Masyarakat Miskin) dan beberapa program lainnya. Program ini menanggung semua administrasi mulai dari biaya rawat inap, obat-obatan dan biaya dokter.

Jumlah pasien yang berobat kadang melebihi kapasitas ruangan. Tidak jarang Saya lihat pasien yang kritis tapi harus di rawat di lorong-lorong. Ya mau bagaimana lagi. Apapun fasilitasnya, apapun kondisinya, bagi orang miskin yang penting adalah di rawat dan gratis. Tanpa TV, AC, flying fox dan banana boat.

 Meskipun tindakan medis yang dilakukan terhadap  kedua jenis pasien ini sama, tapi ada sedikit perbedaan perlakuan terhadap keduanya. Biasanya pasien yang membayar  di perlakukan dengan hati-hati, karena mereka membayar. Sedangkan pasien yang gratis, alias di bayar oleh pemerintah, biasanya mendapat perlakuan yang biasa aja.

“Alaaahhh, wong gratis aja, koq minta enak”

Harus di akui inilah yang ada di benak tenaga medis saat menangani pasien gratis. Ya mungkin tidak semua, hanya beberapa. Atau anggap aja ini hanya kecurigaan Saya. Kesenjangan social bisa terlihat disini.

Kita pasti sering mendengar ungkapan “orang miskin dilarang sakit”. Saya ga setuju dengan ungkapan itu. Karena pemerintah sudah memberikan bantuan berupa program di atas. Yang dilarang sakit di Indoensia ini adalah orang kelas menengah. Dimana orang-orang ini tidak cukup kaya untuk membayar biaya rumah sakit, dan tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan pemerintah.

Untuk mendapat bantuan dari pemerintah, Anda harus memenuhi beberapa syarat. Salah satunya  Anda harus miskin. Dan menjadi orang miskin ternyata juga ada syaratnya. Silahkan Anda cari sendiri syarat dan kriteria menjadi orang miskin agar berhak mendapat bantuan kesehatan dari pemerintah.

Orang kelas menengah ini masuk dalam kategori pasien umum dan harus membayar biaya rumah sakit nya sendiri. Celakanya saat uangnya habis, mereka harus hutang sana-sini. Kadang harus jual barang-barang untuk membayar biaya rumah sakit nya. Meskipun sudah nggak punya uang, hutang banyak dan udah ngejual barang-barang, tetap belum bisa dikatakan miskin dan belum berhak mendapatkan bantuan untuk berobat dari pemerintah.

Orang yang sudah tidak punya apa-apa karena di korbankan untuk biaya berobat saja belum tentu mendapat bantuan pemerintah. Apalagi orang yang masih punya apa-apa. Karena miskin dan tidak punya uang itu beda. Kalau Anda punya uang tapi tidak punya apa-apa, Anda bisa disebut miskin. Tapi kalo Anda punya apa-apa tapi tidak punya uang, maka Anda belum masuk kriteria orang miskin.

Misalnya ada sebuah keluarga yang tinggal di perumahan, punya motor dan perabotan rumah kelas menengah. Lalu bapak nya sakit parah dan berobat dengan biaya yang sangat mahal. Uangnya habis dan harus menjual motor dan barang-barang yang lain. Meskipun sudah tinggal rumah aja dan gak punya apa-apa, orang ini belum di katakan miskin. Saat dia mengajukan permohonan bantuan dari pemerintah, belum tentu juga di kabulkan.

Padahal orang ini sudah gak mampu lagi membayar. Kalo dia harus menjual rumah dan segala isinya agar memenuhi kriteria untuk mendapat bantuan dari pemerintah, kemungkinan akan di bantu. Tapi saat pulang dari rumah sakit, keluarganya sudah tinggal di kolong jembatan.

Menurut Saya syarat yang ditetapkan untuk mendapat bantuan dari pemerintah ini bagus untuk mencegah terjadinya kecurangan. Misalnya orang yang mampu tapi karena kenal orang dalam, maka di ajukan untuk mendapat bantuan. Namun kerancuan dalam menetapkan seseorang berhak atau tidaknya mendapat bantuan, akan menimbulkan masalah.

Menurut Saya harus ada kebijakan baru dimana pemerintah mau membantu orang yang membutuhkan. Gak harus miskin atau harus disahkan untuk mendapat bantuan. Jadi ada semacam bantuan darurat gitu. Saya begitu prihatin akan hal ini karena Saya pernah mengalaminya. Menangani pasien umum yang tidak mampu membayar. Beginilah kisahnya.

Hari itu giliran Saya kebagian shift jaga siang di salah satu rumah sakit daerah di Surabaya. Saya bersama 4 orang teman berjaga di ruang penyakit dalam. Dari 5 orang dalam kelompok ini, Saya adalah mahasiswa yang paling malas, suka telat dan beresiko melakukan kesalahan. Oleh karena itu pihak kampus mengutus 4 orang teman-teman terbaik di angkatan 2009 untuk mendampingi Saya agar bisa mendukung, mengontrol dan mengasuh Saya selama menjalankan praktek klinik di rumah sakit.

Saat itu Saya sudah semester 6. Praktek di rumah sakit ini adalah yang terakhir sebelum tugas akhir dan sidang. Jaga siang lumayan santai, gak kayak kalo kebagian shift pagi. Sibuknya minta ampun, dari pagi sampek siang sibuk banget ngurusin pasien. Kadang ga sempet duduk. Baru bisa istirahat pas jam makan siang.

Di ruang penyakit dalam ini terbagi dua jenis pasien. Pasien umum dan pasien gratis yang mendapat bantuan dari Jamkesmas. Setiap Saya mau melakukan tindakan di ruang pasien yang berbayar. Senior perawat di ruangan itu selalu berpesan untuk hati-hati. Mungkin takut kalo ada kesalahan bisa kena komplain rumah sakitnya. Sedangkan pasien yang gratis “dianggap” ga boleh komplain.

Pada kenyataannya pasien gratis emang jarang complain. Ada dua kemungkinan. Mereka memang sudah mendapatkan pelayanan yang baik, atau mereka ngerasa ga berhak untuk komplain.

“Udah bersyukur bisa dirawat gratis, jadi pasrah aja”

Mungkin itu yang ada di benak pasien gratis. Mereka ga paham standar pelayanan. Yang penting di rawat dan dikasih obat. Sebenarnya meskipun di rawat asal-asalan pun mereka mungkin tidak tau. Atau seandainya terjadi kesalahan mereka ga akan bisa menuntut. Berobat aja harus dapat bantuan dari pemerintah, kemungkinan kecil bisa bayar pengacara buat menuntut rumah sakit kalo terjadi kesalahan. Kecuali pemerintah menyediakan layanan Jampengkin (Jaminan Pengacara Miskin) untuk membela pasien yang mengalami masalah. Tapi ya membela seadanya, kan gratis. Pasti pengacaranya akan bergumam dalam hati

“Alaah wong gratis aja koq mau bener”

Sidangnya pun di ruang seadanya. Ga ada AC, TV flying fox dan banana boat. Kalo ruang sidang penuh ya di lorong. Dan kalo ga ada meja hijau, terpaksa sidangnya di lantai.

Melakukan tindakan medis di ruang pasien berbayar memang terasa berbeda. Selain di bebani titah senior untuk berhati-hati, biasanya pasien di ruang berbayar ini orang yang punya uang dan ber pendidikan. Jadi harus extra hati-hati agar tidak salah dan kena komplain.
Awalnya saya berpikir semua pasien yang ada di ruangan berbayar ini adalah orang yang kaya, atau minimal punya uang untuk membayar. Tapi ternyata tidak semua. Ada juga pasien yang tidak bisa membayar obat-obatan. Bahkan untuk sebotol infus jenis RL (ringer laktat) seharga Rp, 12.500.-.

Saya melihat seorang wanita berumur sekitar 20 tahun terbaring lemas. Infusnya kosong belum di ganti. Tidak ada keluarga yang menjaganya. Lalu Saya tanya keluarga penjaga pasien yang satu kamar dengan nya.

“Bu, keluarga nya mbak ini mana ya bu?”
“Tadi ada suaminya, Mas. Sekarang ga tau kemana suaminya pergi”

Setelah berbincang-bincang dengan Ibu itu Saya mendapat informasi bahwa Mbak ini berasal dari Bandung dan suaminya keluar entah kemana. Gak jelas mau ngambil uang atau menebus obat. Tapi yang Saya lihat di meja dekat pasien tidak ada cadangan botol infus. Mungkin menunggu suaminya nebus obat baru ada lagi cadangan botol infus.

Saat itu Saya pulang jaga dari rumah sakit sekitar jam 9 malam. Saya terbayang terus kondisi Mbak itu. Seandainya suaminya belum datang membawa botol infus pengganti, berarti Mbak itu akan tidur dalam keadaan kekurangan cairan. Apalagi sore tadi Saya cek tensi darahnya rendah sekali sekitar 90/70 dan ini dibawah normal. Karena normalnya tensi darah 120/80.

Saya gak tau pasti apa penyakit Mbak ini. Yang saya tau kalo tensi rendah dan dalam keadaan lemas, maka asupan cairan harus banyak masuk. Salah satunya lewat cairan infus. Jadi kalo infusnya habis harus segera di ganti.

Keesokan harinya Saya kebagian jaga siang. Begitu sampai rumah sakit, Saya langsung menuju kamar Mbak itu dirawat. Saya pikir pihak rumah sakit akan memberikan pinjaman cairan infus sementara karena kondisi pasien yang lemah dan membutuhkan asupan cairan dengan segera.

Namun ternyata tidak. Botol infus itu tetap kosong. Tak ada yang mengganti. Seakan-akan pasien ini tidak di urus. Langsung saya ukur tekanan darahnya. Hasilnya sekitar 80/60 dan keadaannya makin lemas. Cuma bisa merem-melek.

Yang saya tau jika botol infus kosong dan tidak di tutup salurannya, maka bisa udara yang mengalir ke darah dan menuju jantungnya. Jika jantung kemasukan udara secara berlebih, maka akan terjadi emboli jantung yang menyebabkan seseorang bisa meninggal.

Untung saja hal itu tidak sampai terjadi. Perawat yang berjaga sudah menutup selang infusnya. Saya hanya membayangkan. Seandainya perawat yang berjaga tidak menutup infusnya, Mbak itu bisa meninggal. Semuanya berawal dari tidak adanya sisa botol infus untuk di ganti. Dan saya bertanya dalam hati. Kenapa pihak rumah sakit tidak meminjami atau membelikan botol infus yang harganya hanya Rp, 12.500,-. Kenapa tega membiarkan pasien terbaring lemah seperti itu. Bayangkan kalo itu sahabat Anda, Ibu anda atau bahkan anda sendiri. Terbaring lemah tak ada yang mau membelikan sebotol cairan infus yang semurah itu.

Siapapun boleh sakit. Mau kaya atau miskin silahkan sakit. Tapi kalo Anda tidak punya uang, tidak cukup miskin untuk minta bantu pemerintah atau tidak punya orang dalam untuk mengajukan Jamkesmas, maka Anda harus lebih menjaga kesehatan.

Sehat itu murah. Berobatnya yang mahal.



2 komentar:

  1. http://blogpenuliskreatifindonesia.blogspot.com/2023/05/cerpen-dari-jendela-smp-surat-hitam.html

    Mampir balik bang tretan ya..btw tulisan lue asik sih...hahaha

    BalasHapus