Selasa, 22 September 2015

Cell Regeneration

Menurut buku yang akan Saya baca, kesembuhan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh sugesti. Selain obat, terapi dan saran dari nenek, sugesti dan keyakinan orang untuk sembuh juga sangat berpengaruh terhadap proses kesembuhan. Gak tau berapa persen pastinya, yang jelas ada pengaruhnya. Belum bisa di pastikan lewat penelitian, karena sugesti itu hal ghaib jadi ga bisa diteliti. Mungkin karena WHO gak punya dukun untuk menelitinya.

Kenapa sugesti berpengaruh terhadap proses kesembuhan?

Menurut penelitian yang belum Saya lakukan, sugesti untuk sembuh akan menimbulkan energi-energi positive dalam pikiran yang akan melancarkan metabolisme dalam tubuh. Hal ini akan me-regenerasi sel-sel yang rusak dan di ganti dengan sel-sel baru. Nah, hal-hal ini lah yang akan membantu mempercepat proses kesembuhan. Begitu ilmiah dan sok tau. Intinya sugesti dan keyakinan untuk sembuh itu penting. Udah percaya aja deh.

Namun sugesti juga harus di dasari usaha yang benar dan logis. Misalnya orang sakit panas dan minum paracetamol. Lalu yakin akan sembuh. Ini sugesti dengan cara yang benar dan masuk akal. Beda dengan orang yang sakit batuk dan tenggorokannya gatal lalu orang ini makan bedak gatal. Dengan logika bahwa bedak tadi akan menghilangkan jamur di tenggorokan. Dengan sugesti yang kuat, orang ini yakin sembuh. Yakin aja abis ini bakal masuk UGD.

Sugesti, cara dan logika ini harus menjadi satu kesatuan. Tidak boleh terpecah belah. Harus berjalan seksama dan mengamalkan sila ke-3 yaitu persatuan. Jika tidak maka akan terjadi kesalahan bahkan bisa mencelakai pasien. Ini sudah menjadi sebuah peraturan yang harus di patuhi.

Pada kenyataannya, ada orang-orang yang melanggar aturan ini tapi tetap sehat. Mereka adalah orang awam atau orang desa. Atau kita jadikan satu aja, karena orang desa biasanya awam. Ga semua sih cuma sebagian besar aja. Karena sebagian kecilnya sudah merantau ke kota dan jadi orang kota yang tidak lagi berpikiran awam. Jadi dapat di simpulkan orang desa adalah orang awam soal kesehatan.

Tapi tidak disangka. Ke-awaman mereka telah merusak system tatanan dunia kesehatan. Mereka seperti punya peraturan sendiri. Seakan-akan mereka hidup di alam lain. Mereka punya kepercayaan sendiri dalam hal kesehatan. Mereka membuat cara-cara tersendiri dalam hal-hal medis. Mereka tidak percaya kepada ketua WHO, gak peduli menteri kesehatan. Yang mereka percaya adalah nenek moyang. Ya mungkin nenek moyang nya dulu adalah ketua WHO.


Sebagai contoh orang-orang yang punya tatanan dunia kesehatan sendiri adalah orang Madura. Suku yang sulit di bedakan antara teguh atau keras kepala. Saking teguhnya mangkanya jadi keras kepala, atau saking keras kepala nya mangkanya jadi teguh. Keteguhan yang keras kepala.

Salah satu contoh sugesti yang berlogika benar namun melanggar aturan adalah cara orang Madura dalam mengobati luka. Jika ada anak kecil yang jatuh dan kaki nya luka, maka orang tuanya akan mengoleskan minyak tanah ke bagian lukanya.

Awalnya Saya pikir luka nya di kasih minyak tanah lalu dibakar. Dengan logika panasnya api akan menghilangkan rasa sakit yang akan berpindah menjadi rasa panas lalu timbul rasa menyesal karena malah timbul luka bakar. Ternyata tidak. Logika nya adalah minyak tanah tadi adalah bahan kimia yang di anggap akan membunuh kuman. Karena kuman akan mati terkena minyak tanah dan luka yang bersih dari kuman akan cepat sembuh. Itu saja logikanya.

Tanpa peduli infeksi dan benar atau tidak nya logika. Kenyataannya lukanya sembuh. Ternyata sugesti bukan cuma kekuatan keyakinan, tapi sepertinya bisa menimbulkan keajaiban. Orang Madura mematahkan ilmu pengetahuan. Menemukan sebuah penemuan baru. Penyembuhan luka dengan minyak tanah. Harusnya ini dapat penghargaan Nobel. Kategori Pengobatan Ekstrim.

Saya gak tau apa sebenarnya hubungan antara kandungan minyak tanah dan kesembuhan luka. Saya juga gak tau gimana asal-usulnya. Mungkin dulu ada orang Madura yang lagi memperbaiki kompor terus ketumpahan minyak tanah di bagian yang terkena luka. Tapi karena terlalu teguh dalam memperbaiki kompor sehingga lupa membersihkannya. Dan ternyata lukanya malah sembuh.

Mungkin kalo Madura menjadi negara penghasil minyak, minyak tanah akan di bagi-bagikan gratis untuk berobat. Pom bensin akan berjualan minyak tanah sebagai ganti apotik. Akan ada minyak tanah paten dan minyak tanah generik. Kalo ada orang kecelakaan gak dibawa ke UGD, tapi ke pom bensin untuk mendapatkan pertolongan pertama dan terakhir.

Pada bulan juli tahun 2012, Saya melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan) selama 1 bulan di Madura. Di Fakultas Kesehatan kampus Saya, ada 5 jurusan. S1 Keperawatan, S1 Psikologi, D3 Keperawatan, D3 Kebidanan dan D3 Analis Kesehatan. Saat itu yang kebagian PKL hanya 3 jurusan yaitu D3 Keperawatan, D3 Kebidanan dan D3 Analis Kesehatan.

Dari 3 jurusan itu di gabung menjadi satu dan di pecah jadi 12 kelompok. Masing-masing kelompok ada 14-15 orang terdiri dari 4 D3 Keperawatan, 3 D3 Anaslis Kesehatan dan 7-8 D3 Kebidanan.

Saya kebagian PKL di Desa Bajeman, Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan. Daerah yang penuh dengan orang awam. Daerah ini juga kesulitan air. Beberapa rumah          harus membeli dari PDAM. Ada juga yang harus nimba ke sumur. Beruntung kami waktu itu tinggal di rumah kepala desa. Fasilitas sudah cukup memenuhi. Air pake pompa air jadi ga usah nimba di sumur.

Kelompok Saya terdiri dari anak-anak manja yang menganggap hidup di desa seperti ini adalah kesempatan untuk belajar mandiri. Mereka ga setuju tinggal di rumah kepala desa karena di anggap terlalu enak. Mereka minta pindah kerumah kosong punya saudara pak kepala desa. Disitu rumahnya lebih sempit dan air harus nimba di sumur. Anak laki-laki di kelompok Saya cuma ada 4. Jadi tiap pagi 4 anak laki-laki ini harus romusa nimba air untuk memenuhi kebutuhan masak, cuci dan mandi.

Ini PKL udah kayak latian berumah tangga. Saya pun mengajukan keberatan. Dengan alasan sungkan sama kepala desa kalo harus minjem rumah saudaranya. Walaupun sebenernya alasan utama Saya adalah malas menimba air pagi-pagi. Akhirnya musyawarah di adakan. Saya sebagai ketua harus berat sebelah pada saat itu. Hanya anak laki-laki aja yang ga setuju pindah.

Setelah di polling akhirnya 11 suara setuju pindah dan 4 suara setuju tetap. Dengan berat hati akhirnya keputusan di ambil. Pindah. Terlihat mata para anak laki-laki berkaca-kaca membayangan di pagi hari yang dingin harus menimba air untuk kebutuhan 11 istri simpanan.

Akhirnya di hari kami akan pindah. Ibu dari Pak Kepala Desa mencegah kami untuk pindah karena kasian nanti kami kesulitan air dan tidurnya sempit.

YEEESSSS!!!!!!

Teriak anak laki-laki (dalam hati). Anak-anak perempuan pun terlihat kecewa karena kesempatan mereka untuk belajar mandiri hilang. Sebagai ketua yang bijak dan malas nimba air, Saya langsung mengumpulkan teman-teman dan memberi nasihat.

“Hai teman-teman. Belajar mandiri itu gak cukup hanya sebulan hidup susah. Kalo kita pindah itu bukan belajar mandiri, tapi menyusahkan diri. Belajar mandiri bukan seperti itu caranya. Kalian harus merasakan kelaparan di kosan. Makan nasi lauk nya krupuk dan kecap. Minum harus menadah air hujan buat dimasak. Itu baru belajar mandiri. Bukan kita yang membuat situasinya, tapi situasi apapun yang terjadi harus bisa kita lewati”

Tampak wajah para anggota kelompok kembali bersemangat. Segera kami melanjutkan kegiatan dan menjalankan program selama ada disana. Salah satu program kami selama berada disana adalah mengadakan bakti sosial. Dimana kami akan mengadakan medical chek up, konsultasi, posyandu dan pembagian obat gratis.

Kami yakin akan sangat mudah mengajak orang-orang desa untuk di berikan pengetahuan dan pengobatan gratis karena mereka senang dengan manfaat yang akan di dapatkan. Tapi ternyata ga semudah itu. Mengajak orang desa untuk datang ke baksos sangat sulit. Sedikit lebih sulit dari ngajak orang pindah agama.

Saat kami berkeliling kampung mendata warga, kami memakai blazer almamater. Warga desa menatap kami dengan pandangan aneh. Mereka ga tau kalo kami mahasiswa kesehatan yang sedang mendata warga. Bahkan ada satu rumah yang kami mau data. Saat kami mengucapkan salam ada seorang Ibu keluar memberikan uang. Mereka menganggap kami mau minta sumbangan. Mungkin karena kami membawa map. Setelah kami jelaskan baru lah Ibu itu mengerti.

Setelah 3 hari yang penuh dengan ujian kesabaran dan proses negosiasi yang berat, akhirnya kami selesai mendata dan mengajak warga untuk datang ke baksos. Kami antusias para warga akan datang. Selain pengobatan dan cek kesehatan gratis, ada juga posyandu bagi ibu dan anak. Dan untuk menarik minat warga kami membagikan susu dan biscuit bagi warga yang hadir. Sebenarnya saya sempet kepikiran untuk nge-DM pin BBM kepada ibu-ibu yang hadir sebagai souvenir jika mereka mau hadir. Tapi rasanya susu dan biscuit sudah cukup menarik antusias warga.

H-1 acara baksos sempat ada gangguan. Di malam hari ada orkes dangdut di desa kami. Yang hadir ratusan orang. Kami khawatir warga akan lebih antusias nonton dangdut dan melupakan kalo besok harus hadir ke baksos. Dan ternyata benar. Saat hari H baksos, warga yang hadir tidak seramai yang di harapkan. Kalah sama jumlah penonton orkes dangdut tadi malam.

Mungkin lain kali kami harus mengadakan bakdut (bakti dangdut). Orkes dangdut berkolaborasi dengan bakti sosial kesehatan. Jadi nanti biduan nya teriak.

“Woy penonton, mana suaranyaaa”
“Berapa tensinyaaaa”
“Ayo suntik dulu, buka baju nya, buka dikit joss”

Meskipun warga yang hadir tidak sebanyak perkiraan kami, namun kami tetap semangat. Kami juga sudah memprediksi akan menghadapi warga-warga tatanan dunia baru yang sulit menerima ilmu kesehatan yang benar. Banyak warga yang ga bisa bahasa Indonesia. Keadaan jadi makin sulit karena mahasiswa di kelompok kami yang berasal dari Madura hanya 3. Sisanya berasal dari jawa dan tidak bisa bahasa Madura. Jadi kami bertiga yang menjadi penerjemah. Keselamatan warga kampung itu tergantung pada kami bertiga. Karena jika salah terjemah bisa terjadi malpraktek nantinya.

Teman-teman yang bertugas di bagian konsultasi adalah yang paling berat. Selain kesulitan bahasa, biasanya para lansia sangat sulit di ajak konsultasi. Salah satu contohnya seorang Ibu-ibu yang punya asam urat tinggi.

“Bu, ini asam urat sampeyan tinggi, jangan banyak makan garam ya”
“Wah kalo ga makan garam bukan orang Madura mas” sahut ibu itu tegas
“Emangnya apa aja Bu yang di kasih garam?”
“Ya sayur, ya telur ya nasi juga di kasih garam, Mas”

Pulau Madura memang disebut sebagai pulau garam karena banyak daerah penghasil garam di Madura. Saya yakin ibu ini memegang teguh prinsip untuk menjadi orang Madura sesuai sebutan nya. Jadi apapun yang dimakan akan dikasih garam. Untung Madura tidak dikenal sebagai daerah penghasil Nuklir. Bisa-bisa ibu ini bikin rawon kuah uranium.

Sebuah fakta yang mencengangkan juga ditemukan di daerah itu. Ternyata anak-anak bayi berumur di bawah 6 bulan sudah diberi makan pisang. Secara medis, anak seusia itu ususnya belum siap mencerna makanan yang berserat dan sulit dicerna seperti pisang dan nasi. Jika hal ini dilakukan maka bisa beresiko tinggi menyebabkan gangguan pencernaan, diabetes dan alergi usus karena belum siap menerima makanan.

Tapi semua itu tidak berlaku bagi orang Madura. Seorang Bapak bahkan menuturkan kalo anak-anak sudah berusia 6 bulan sudah makan pisang lebih dari satu sisir. Dan ajaibnya nothing happen. Anak-anak warga disitu sehat. Ajaib. Madura seperti tidak terikat peraturan alam pada umumnya. Kekuatan sugesti sekali lagi membuktikan kalo yakin ga terjadi apa-apa ya beneran ga terjadi apa-apa. Logika dan teori kesehatan terpatahkan oleh keyakinan (keras kepala) orang Madura

Satu lagi bukti bahwa sugesti merupakan obat yang ampuh adalah soal suntik. Orang awam beranggapan bahwa berobat adalah di suntik. Kalo ga di suntik belom di obati. Kadang juga ada yang minta di suntik dua kali. Faktanya, secara medis obat suntik hanya bekerja beberapa persen. Tapi secara sugesti orang awam ngerasa di suntik merupakan obat terbaik. Setelah disuntik rasa sakit dibagian yang disuntik justru merupakan pemicu rasa segar. Gak masuk akal tapi mereka memang merasa lebih baik.

Percaya tidak percaya, sugesti memang terbukti membantu proses penyembuhan. Pikiran positif akan mengaktifkan regenerasi sel yang rusak di dalam tubuh. Yakin lah akan kesembuhan penyakit yang Anda alami. Yakin dan percaya juga harus dibarengi dengan usaha yang benar dan sesuai logika. Jangan contoh orang Madura. Saya yakin Tuhan Maha Tau. Tuhan mengerti kalo orang Madura keras kepala mangkanya diberikan dispensasi.


Stay positive. Stay healthy.

Jumat, 24 Juli 2015

Emboli Jantung

Indonesia hanya memiliki dua jenis pasien. Pasien kaya dan miskin. Saat keduanya sakit, mereka sama-sama bingung. Pasien kaya bingung memilih rumah sakit mewah mana yang akan di pilih untuk merawatnya, fasilitas apa saja yang akan di ambil dan siapa dokter terkenal yang akan merawatnya. Uang bukan masalah, asalkan pasien dirawat sebaik dan senyaman mungkin.

Ini wajar dalam hidup, dengan uang kita bisa membeli apapun, termasuk fasilitas di rumah sakit. Orang yang punya uang akan memilih kamar yang bagus dan fasilitasnya lengkap. Kamar mandi dalam, TV, AC, wifi, kulkas dan fasilitas-fasilitas  yang membuat nyaman pasien akan di bayar meskipun mahal. Bagi orang kaya, apapun akan di lakukan untuk membuat pasien merasa senang dan nyaman. Mungkin 20 tahun lagi di sediakan flying fox dan banana boat di kamar pasien agar pasien merasa terhibur.

Pasien miskin juga mengalami kebingungan. Bingung dengan apa mereka membayar, dimana mereka akan dirawat dan siapa yang akan merawat. Jangan kan televisi, kebagian kamar aja udah bersyukur. Bahkan kadang ada yang gak kebagian tempat tidur dan harus tidur di lantai. Itu pasien lho bukan fans JKT48. Tapi ya mau gimana lagi. Yang penting bagi mereka adalah dirawat meskipun “seadanya”.

Tapi orang miskin bisa bernafas lega. Pemerintah punya program-program yang bisa membebaskan pasien tidak mampu dari biaya rumah sakit. Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) dan Maskin (Masyarakat Miskin) dan beberapa program lainnya. Program ini menanggung semua administrasi mulai dari biaya rawat inap, obat-obatan dan biaya dokter.

Jumlah pasien yang berobat kadang melebihi kapasitas ruangan. Tidak jarang Saya lihat pasien yang kritis tapi harus di rawat di lorong-lorong. Ya mau bagaimana lagi. Apapun fasilitasnya, apapun kondisinya, bagi orang miskin yang penting adalah di rawat dan gratis. Tanpa TV, AC, flying fox dan banana boat.

 Meskipun tindakan medis yang dilakukan terhadap  kedua jenis pasien ini sama, tapi ada sedikit perbedaan perlakuan terhadap keduanya. Biasanya pasien yang membayar  di perlakukan dengan hati-hati, karena mereka membayar. Sedangkan pasien yang gratis, alias di bayar oleh pemerintah, biasanya mendapat perlakuan yang biasa aja.

“Alaaahhh, wong gratis aja, koq minta enak”

Harus di akui inilah yang ada di benak tenaga medis saat menangani pasien gratis. Ya mungkin tidak semua, hanya beberapa. Atau anggap aja ini hanya kecurigaan Saya. Kesenjangan social bisa terlihat disini.

Kita pasti sering mendengar ungkapan “orang miskin dilarang sakit”. Saya ga setuju dengan ungkapan itu. Karena pemerintah sudah memberikan bantuan berupa program di atas. Yang dilarang sakit di Indoensia ini adalah orang kelas menengah. Dimana orang-orang ini tidak cukup kaya untuk membayar biaya rumah sakit, dan tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan pemerintah.

Untuk mendapat bantuan dari pemerintah, Anda harus memenuhi beberapa syarat. Salah satunya  Anda harus miskin. Dan menjadi orang miskin ternyata juga ada syaratnya. Silahkan Anda cari sendiri syarat dan kriteria menjadi orang miskin agar berhak mendapat bantuan kesehatan dari pemerintah.

Orang kelas menengah ini masuk dalam kategori pasien umum dan harus membayar biaya rumah sakit nya sendiri. Celakanya saat uangnya habis, mereka harus hutang sana-sini. Kadang harus jual barang-barang untuk membayar biaya rumah sakit nya. Meskipun sudah nggak punya uang, hutang banyak dan udah ngejual barang-barang, tetap belum bisa dikatakan miskin dan belum berhak mendapatkan bantuan untuk berobat dari pemerintah.

Orang yang sudah tidak punya apa-apa karena di korbankan untuk biaya berobat saja belum tentu mendapat bantuan pemerintah. Apalagi orang yang masih punya apa-apa. Karena miskin dan tidak punya uang itu beda. Kalau Anda punya uang tapi tidak punya apa-apa, Anda bisa disebut miskin. Tapi kalo Anda punya apa-apa tapi tidak punya uang, maka Anda belum masuk kriteria orang miskin.

Misalnya ada sebuah keluarga yang tinggal di perumahan, punya motor dan perabotan rumah kelas menengah. Lalu bapak nya sakit parah dan berobat dengan biaya yang sangat mahal. Uangnya habis dan harus menjual motor dan barang-barang yang lain. Meskipun sudah tinggal rumah aja dan gak punya apa-apa, orang ini belum di katakan miskin. Saat dia mengajukan permohonan bantuan dari pemerintah, belum tentu juga di kabulkan.

Padahal orang ini sudah gak mampu lagi membayar. Kalo dia harus menjual rumah dan segala isinya agar memenuhi kriteria untuk mendapat bantuan dari pemerintah, kemungkinan akan di bantu. Tapi saat pulang dari rumah sakit, keluarganya sudah tinggal di kolong jembatan.

Menurut Saya syarat yang ditetapkan untuk mendapat bantuan dari pemerintah ini bagus untuk mencegah terjadinya kecurangan. Misalnya orang yang mampu tapi karena kenal orang dalam, maka di ajukan untuk mendapat bantuan. Namun kerancuan dalam menetapkan seseorang berhak atau tidaknya mendapat bantuan, akan menimbulkan masalah.

Menurut Saya harus ada kebijakan baru dimana pemerintah mau membantu orang yang membutuhkan. Gak harus miskin atau harus disahkan untuk mendapat bantuan. Jadi ada semacam bantuan darurat gitu. Saya begitu prihatin akan hal ini karena Saya pernah mengalaminya. Menangani pasien umum yang tidak mampu membayar. Beginilah kisahnya.

Hari itu giliran Saya kebagian shift jaga siang di salah satu rumah sakit daerah di Surabaya. Saya bersama 4 orang teman berjaga di ruang penyakit dalam. Dari 5 orang dalam kelompok ini, Saya adalah mahasiswa yang paling malas, suka telat dan beresiko melakukan kesalahan. Oleh karena itu pihak kampus mengutus 4 orang teman-teman terbaik di angkatan 2009 untuk mendampingi Saya agar bisa mendukung, mengontrol dan mengasuh Saya selama menjalankan praktek klinik di rumah sakit.

Saat itu Saya sudah semester 6. Praktek di rumah sakit ini adalah yang terakhir sebelum tugas akhir dan sidang. Jaga siang lumayan santai, gak kayak kalo kebagian shift pagi. Sibuknya minta ampun, dari pagi sampek siang sibuk banget ngurusin pasien. Kadang ga sempet duduk. Baru bisa istirahat pas jam makan siang.

Di ruang penyakit dalam ini terbagi dua jenis pasien. Pasien umum dan pasien gratis yang mendapat bantuan dari Jamkesmas. Setiap Saya mau melakukan tindakan di ruang pasien yang berbayar. Senior perawat di ruangan itu selalu berpesan untuk hati-hati. Mungkin takut kalo ada kesalahan bisa kena komplain rumah sakitnya. Sedangkan pasien yang gratis “dianggap” ga boleh komplain.

Pada kenyataannya pasien gratis emang jarang complain. Ada dua kemungkinan. Mereka memang sudah mendapatkan pelayanan yang baik, atau mereka ngerasa ga berhak untuk komplain.

“Udah bersyukur bisa dirawat gratis, jadi pasrah aja”

Mungkin itu yang ada di benak pasien gratis. Mereka ga paham standar pelayanan. Yang penting di rawat dan dikasih obat. Sebenarnya meskipun di rawat asal-asalan pun mereka mungkin tidak tau. Atau seandainya terjadi kesalahan mereka ga akan bisa menuntut. Berobat aja harus dapat bantuan dari pemerintah, kemungkinan kecil bisa bayar pengacara buat menuntut rumah sakit kalo terjadi kesalahan. Kecuali pemerintah menyediakan layanan Jampengkin (Jaminan Pengacara Miskin) untuk membela pasien yang mengalami masalah. Tapi ya membela seadanya, kan gratis. Pasti pengacaranya akan bergumam dalam hati

“Alaah wong gratis aja koq mau bener”

Sidangnya pun di ruang seadanya. Ga ada AC, TV flying fox dan banana boat. Kalo ruang sidang penuh ya di lorong. Dan kalo ga ada meja hijau, terpaksa sidangnya di lantai.

Melakukan tindakan medis di ruang pasien berbayar memang terasa berbeda. Selain di bebani titah senior untuk berhati-hati, biasanya pasien di ruang berbayar ini orang yang punya uang dan ber pendidikan. Jadi harus extra hati-hati agar tidak salah dan kena komplain.
Awalnya saya berpikir semua pasien yang ada di ruangan berbayar ini adalah orang yang kaya, atau minimal punya uang untuk membayar. Tapi ternyata tidak semua. Ada juga pasien yang tidak bisa membayar obat-obatan. Bahkan untuk sebotol infus jenis RL (ringer laktat) seharga Rp, 12.500.-.

Saya melihat seorang wanita berumur sekitar 20 tahun terbaring lemas. Infusnya kosong belum di ganti. Tidak ada keluarga yang menjaganya. Lalu Saya tanya keluarga penjaga pasien yang satu kamar dengan nya.

“Bu, keluarga nya mbak ini mana ya bu?”
“Tadi ada suaminya, Mas. Sekarang ga tau kemana suaminya pergi”

Setelah berbincang-bincang dengan Ibu itu Saya mendapat informasi bahwa Mbak ini berasal dari Bandung dan suaminya keluar entah kemana. Gak jelas mau ngambil uang atau menebus obat. Tapi yang Saya lihat di meja dekat pasien tidak ada cadangan botol infus. Mungkin menunggu suaminya nebus obat baru ada lagi cadangan botol infus.

Saat itu Saya pulang jaga dari rumah sakit sekitar jam 9 malam. Saya terbayang terus kondisi Mbak itu. Seandainya suaminya belum datang membawa botol infus pengganti, berarti Mbak itu akan tidur dalam keadaan kekurangan cairan. Apalagi sore tadi Saya cek tensi darahnya rendah sekali sekitar 90/70 dan ini dibawah normal. Karena normalnya tensi darah 120/80.

Saya gak tau pasti apa penyakit Mbak ini. Yang saya tau kalo tensi rendah dan dalam keadaan lemas, maka asupan cairan harus banyak masuk. Salah satunya lewat cairan infus. Jadi kalo infusnya habis harus segera di ganti.

Keesokan harinya Saya kebagian jaga siang. Begitu sampai rumah sakit, Saya langsung menuju kamar Mbak itu dirawat. Saya pikir pihak rumah sakit akan memberikan pinjaman cairan infus sementara karena kondisi pasien yang lemah dan membutuhkan asupan cairan dengan segera.

Namun ternyata tidak. Botol infus itu tetap kosong. Tak ada yang mengganti. Seakan-akan pasien ini tidak di urus. Langsung saya ukur tekanan darahnya. Hasilnya sekitar 80/60 dan keadaannya makin lemas. Cuma bisa merem-melek.

Yang saya tau jika botol infus kosong dan tidak di tutup salurannya, maka bisa udara yang mengalir ke darah dan menuju jantungnya. Jika jantung kemasukan udara secara berlebih, maka akan terjadi emboli jantung yang menyebabkan seseorang bisa meninggal.

Untung saja hal itu tidak sampai terjadi. Perawat yang berjaga sudah menutup selang infusnya. Saya hanya membayangkan. Seandainya perawat yang berjaga tidak menutup infusnya, Mbak itu bisa meninggal. Semuanya berawal dari tidak adanya sisa botol infus untuk di ganti. Dan saya bertanya dalam hati. Kenapa pihak rumah sakit tidak meminjami atau membelikan botol infus yang harganya hanya Rp, 12.500,-. Kenapa tega membiarkan pasien terbaring lemah seperti itu. Bayangkan kalo itu sahabat Anda, Ibu anda atau bahkan anda sendiri. Terbaring lemah tak ada yang mau membelikan sebotol cairan infus yang semurah itu.

Siapapun boleh sakit. Mau kaya atau miskin silahkan sakit. Tapi kalo Anda tidak punya uang, tidak cukup miskin untuk minta bantu pemerintah atau tidak punya orang dalam untuk mengajukan Jamkesmas, maka Anda harus lebih menjaga kesehatan.

Sehat itu murah. Berobatnya yang mahal.